Ahmad Fauzi Muliji
Tulisan ini
terinspirasi dari celetukan seorang kawan pada saat diskusi di kampus Jumat
30/1/2015 pagi. Kebetulan pada saat diskusi memang mengangkat tentang
“Pesantren dan Pendidikan Karakter Bangsa” yang kebetulan kesempatan tersebut
saya sendiri yang menjadi pematerinya. Dalam kesempatan itu saya coba
memaparkan bagaimana akar hsitoris perkembangan Pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam di masa-masa awal, dan peran pesantren dalam usahanya
membimbing dan membangun nilai-nilai karakter bangsa.
Di sela-sela
diskusi, beberapa kawan memberikan beberapa masukan dan pertanyaan, salah
satunya adalah mengapa terkadang dalam beberapa tradisi masyarakat tertentu
seperti masyarakat Madura, ketika mengirim anaknya ke pondok pesantren, Wali
santri sangat berharap anaknya ketika sepulang dari pondok mampu bertutur serta
berkomunikasi dengan bahasa halus? Patut di ketahui dalam beberapa tradisi
masyarakat tertentu khususnya dalam tradisi masyarakat Madura dan Jawa, bahasa
halus digunakan sebagai alat komunikasi terhadap orang-orang yang dianggap
lebih tua darpada kita
Kemudian saya
pun menanggapi bahwa inilah salah satu ciri khas pesantren dan “Kaum Santri”
sebagai outputnya, Pendidikan pesantren tidak hanya sekedar teori nilai-nilai
tetapi bagaimana pengamalan dari nilai-nilai tersebut harus senantiasa
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ya, salah satunya kebiasaan
menggunakan bahasa halus sepulang dari pondok. Itu sebenarnya merupakan standar
minimal bagi seorang santri dan dari sinilah nilai-nilai karakter itu dibiasakan
berupa akhlak dan span santun. Dan kebiasaan seperti ini tentu harus tetap
dilestarikan dan tetap menjadi ciri khas seorang “santri” bahkan non santr
sekalipun tak menutupkemungkinan untuk menggunakan bahasa komunikasi tersebut.
***)
Jumat, 30 Januari 2015 17:57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar